contoh makalah koperasi indonesia pada era otonomi daerah dan perdagangan bebas
KOPERASI INDONESIA
PADA ERA OTONOMI DAERAH DAN PERDAGANGAN BEBAS
Di susun oleh:
Aida Ainur Masroh 1801010039
YAYASAN
PENDIDIKAN SEMARANG STIE SEMARANG
Jl. Menoreh
Utara Raya 11 telp/fax . 024-8506802
E.mail :
stie.semarang@yahoo.com
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan YME.Karena dengan Rahmat dan
Karunia-Nya sehingga penyusunan Makalah ini telah dapat diselesaikan dengan
judul “Perkembangan dan Tantangan Koperasi”. Makalah ini disusun bertujuan
untuk menyelesaikan tugas yang diberikan oleh Dosen Ekonomi Koperasi kami.
Selesainya penyusunan ini berkat bantuan dari berbagai pihak baik
secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, pada kesempatan ini
penulis sampaikan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada:
1. Bapak dan ibu dosen pengampu yang
menuntun kami dalam penyelesaian makalahini.
2. Orang tua yang ikut menyemangati dalam
penyelesaian makalah.
3. Teman teman kami yang turut bekerja
sama dan membantu dalam pembuatan makalah.
Kami harap makalah ini dapat membantu atau bermanfaat bagi pembaca
terutama bagi mahsiswa Universitas Jember dalam mempelajari atau memahami
tentang “Perkembangan dan Tantangan Koperasi”.
Penulis menyadari Makalah ini masih jauh dari sempurna oleh karena
itu, kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat kami butuhkan agar makalah
kami selanjutnya dapat lebih baik dan sempurna.
Semarang, 20 Desember 2018
Penyusun
DAFTAR ISI
SAMPUL DEPAN ……………………………………………………………….…………
1
KATA PENGANTAR...................................................................................................
2
DAFTAR
ISI................................................................................................................
3
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang.....................................................................................................
4
1.2 Rumusan
Masalah...............................................................................................
6
1.3 Tujuan..................................................................................................................
6
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Kondisi Perkoperasian di
Indonesia.....................................................................
7
2.1.1 Mengapa Koperasi Indonesia Sulit Berkembang?............................................
7
2.2 Perkembangan Koperasi di
Indonesia….………................................................. 9
2.3 Tantangan yang Dihadapi Perkoperasian
di Indonesia...................................... 22
2.4 Kebijakan Perkoperasian di
Indonesia............................................................... 24
BAB III PENUTUP
3.1
Kesimpulan........................................................................................................ 26
3.2
Saran................................................................................................................. 26
DAFTAR
PUSTAKA................................................................................................. 27
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ropke (1987) mendefinisikan koperasi sebagai organisasi bisnis yang
para pemilik atau anggotanya adalah juga pelangggan utama perusahaan tersebut
(kriteria identitas). Kriteria identitas suatu koperasi akan merupakan dalil atau
prinsip identitas yang membedakan unit usaha koperasi dari unit usaha yang
lainnya. Berdasarkan definisi tersebut, menurut Hendar dan Kusnadi (2005),
kegiatan koperasi secara ekonomis harus mengacu pada prinsip identitas (hakikat
ganda) yaitu anggota sebagai pemilik yang sekaligus sebagai pelanggan.
Organisasi koperasi dibentuk oleh sekelompok orang yang mengelola perusahaan
bersama yang diberi tugas untuk menunjang kegiatan ekonomi individu para
anggotanya. Koperasi adalah organisasi otonom, yang berada didalam lingkungan
sosial ekonomi, yang menguntungkan setiap anggota, pengurus dan pemimpin dan
setiap anggota, pengurus dan pemimpin merumuskan tujuan-tujuannya secara otonom
dan mewujudkan tujuan-tujuan itu melalui kegiatan-kegiatan ekonomi yang dilaksanakan
secara bersamasama (Hanel, 1989).
Dewasa ini, perkembangan koperasi di Indonesia terus berkembang.
Perkembangan tersebut ditandai dengan banyaknya pertumbuhan koperasi di
Indonesia. Tetapi di dalam perkembangan tersebut banyak terjadi hambatan-hambatan.
Sebelum mengetahuinya terlebih dahulu kita perlu mengetahui sejarah awal
pembentukan koperasi. Selain itu, kita juga dapat mengetahui faktor-faktor apa
saja yang bisa menghambat pertumbuhan koperasi di Indonesia. Hal ini
melatarbelakangi di dalam pembahasan pembuatan makalah koperasi Indonesia.
Sampai dengan bulan November 2001, jumlah koperasi di seluruh Indonesia
tercatat sebanyak 103.000 unit lebih, dengan jumlah keanggotaan ada sebanyak
26.000.000 orang. Jumlah itu jika dibanding dengan jumlah koperasi per-Desember
1998 mengalami peningkatan sebanyak dua kali lipat. Jumlah koperasi aktif, juga
mengalami perkembangan yang cukup menggembirakan. Jumlah koperasi aktif
per-November 2001, sebanyak 96.180 unit (88,14 persen). Corak koperasi
Indonesia adalah koperasi dengan skala sangat kecil. Satu catatan yang perlu di
ingat reformasi yang ditandai dengan pencabutan Inpres 4/1984 tentang KUD telah
melahirkan gairah masyarakat untuk mengorganisasi kegiatan ekonomi yang melalui
koperasi.
Pengembangan koperasi di Indonesia yang telah digerakan melalui
dukungan kuat program pemerintah yang telah dijalankan dalam waktu lama, dan
tidak mudah ke luar dari kungkungan pengalaman tersebut. Jika semula
ketergantungan terhadap captive market program menjadi sumber pertumbuhan, maka
pergeseran ke arah peran swasta menjadi tantangan baru bagi lahirnya
pesaing-pesaing usaha terutama KUD. Meskipun KUD harus berjuang untuk
menyesuaikan dengan perubahan yang terjadi, namun sumbangan terbesar KUD adalah
keberhasilan peningkatan produksi pertanian terutama pangan, disamping
sumbangan dalam melahirkan kader wirausaha karena telah menikmati latihan
dengan mengurus dan mengelola KUD.
Posisi koperasi Indonesia pada dasarnya justru didominasi oleh
koperasi kredit yang menguasai antara 55-60 persen dari keseluruhan aset
koperasi. Sementara itu dilihat dari populasi koperasi yang terkait dengan
program pemerintah hanya sekitar 25% dari populasi koperasi atau sekitar 35%
dari populasi koperasi aktif. Pada akhir-akhir ini posisi koperasi dalam pasar
perkreditan mikro menempati tempat kedua setelah BRI-unit desa sebesar 46% dari
KSP/USP dengan pangsa sekitar 31%. Dengan demikian walaupun program pemerintah
cukup gencar dan menimbulkan distorsi pada pertumbuhan kemandirian koperasi,
tetapi hanya menyentuh sebagian dari populasi koperasi yang ada. Sehingga pada
dasarnya masih besar elemen untuk tumbuhnya kemandirian koperasi.
Memasuki tahun 2000 posisi koperasi
Indonesia pada dasarnya justru didominasi oleh koperasi kredit yang menguasai
antara 55-60 persen dari keseluruhan aset koperasi. Sementara itu dilihat dari
populasi koperasi yang terkait dengan program pemerintah hanya sekitar 25% dari
populasi koperasi atau sekitar 35% dari populasi koperasi aktif. Pada
akhir-akhir ini posisi koperasi dalam pasar perkreditan mikro menempati tempat
kedua setelah BRI-unit desa sebesar 46% dari KSP/USP dengan pangsa sekitar 31%.
Dengan demikian walaupun program pemerintah cukup gencar dan menimbulkan
distorsi pada pertumbuhan kemandirian koperasi, tetapi hanya menyentuh sebagian
dari populasi koperasi yang ada. Sehingga pada dasarnya masih besar elemen
untuk tumbuhnya kemandirian koperasi.
Koperasi merupakan lembaga ekonomi yang
cocok diterapkan di Indonesia. Karena sifat masyarakatnya yang kekeluargaan dan
kegotongroyongan, sifat inilah yang sesuai dengan azas koperasi saat ini. Sejak
lama bangsa Indonesia telah mengenal kekeluargaan dan kegotongroyongan yang
dipraktekkan oleh nenek moyang bangsa Indonesia. Kebiasaan yang bersifat
nonprofit ini, merupakan input untuk Pasal 33 ayat 1 UUD 1945 yang dijadikan
dasar/pedoman pelaksanaan Koperasi. Kebiasaan-kebiasaan nenek moyang yang
turun-temurun itu dapat dijumpai di berbagai daerah di Indonesia di antaranya
adalah Arisan untuk daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur, paketan, mitra cai dan
ruing mungpulung daerah Jawa Barat, Mapalus di daerah Sulawesi Utara, kerja
sama pengairan yang terkenal dengan Subak untuk daerah Bali, dan Julo-julo
untuk daerah Sumatra Barat merupakan sifat-sifat hubungan sosial, nonprofit dan
menunjukkan usaha atau kegiatan atas dasar kadar kesadaran berpribadi dan
kekeluargaan. Bentuk-bentuk ini yang lebih bersifat kekeluargaan,
kegotongroyongan, hubungan social, nonprofit dan kerjasama disebut Pra
Koperasi. Pelaksanaan yang bersifat pra-koperasi terutama di pedesaan masih
dijumpai, meskipun arus globlisasi terus merambat kepedesaan.
1.2 Rumusan Masalah
1.
Bagaimana Kondisi Perkoperasian Di
Indonesia ?\
2.
Bagaimana Perkembangan Perkoperasian Di
Indonesia ?
3.
Apa Saja Tantangan Yang Dihadapi
Perkoperasian Di Indonesia ?
4.
Apa Saja Kebijakan – Kebijakan Yang
Dibuat Untuk Koperasi Di Indonesia
1.3 Tujuan
1.
Untuk Mengetahui Kondisi Perkoperasian Di
Indonesia
2.
Untuk Mengetahui Perkembangan
Perkoperasian Di Indonesia
3.
Untuk Mengetahui Tantangan – Tantangan
Yang Dihadapi Oleh Koperasi Di Indonesia
4.
Untuk Mengetahui Kebijakan – Kebijakan
Yang Dibuat Untuk Koperasi Di Indonesia
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Kondisi Perkoperasian di Indonesia
Sekretaris Kementerian Koperasi dan UKM. Ia mengatakan, ada bebeapa
faktor penyebab banyaknya koperasi tidak aktif, di antaranya pengelolaan yang
tidak profesional. Namun demikian hingga kini kementerian masih melakukan
pendataan untuk mengetahui hal tersebut. Dalam hal ini, kementrian terus
melakukan pengkajian. Rencananya koperasi yang tidak sehat tersebut akan
dipilah sesuai kondisinya. Namun bila sudah tidak ada pengurusnya, koperasi
yang tidak aktif tersebut akan dibubarkan.
2.1.1 Mengapa koperasi Indonesia sulit
maju?
Ilmu ekonomi ternyata tidak meningkatkan kecintaan para ekonom pada
bangun perusahaan koperasi yang menonjolkan asas kekeluargaan, karena sejak
awal model-modelnya adalah model persaingan sempurna,bukan kerjasama sempurna.
Ajaran ilmu ekonomi Neoklasik adalah bahwa efisiensi yangtinggi hanya dapat
dicapai melalui persaingan sempurna. Inilah awal ideologi ilmuekonomi yang
tidak mengajarkan sosiologi ekonomi ajaran Max Weber, sosiolog Jerman,bapak
ilmu sosiologi ekonomi.
Ajaran Max Weber ini sebenarnya sesuai dengan ajaran awalAdam Smith
(Theory of Moral Sentiments, 1759) dan ajaran ekonomi kelembagaan dari
JohnCommons di Universitas Wisconsin (1910).Koperasi yang merupakan ajaran
ekonomi kelembagaan ala John Commons mengutamakankeanggotaan yang tidak
berdasarkan kekuatan modal tetapi berdasar pemilikan usahabetapapun kecilnya.
Koperasi adalah perkumpulan orang atau badan hukum bukanperkumpulan modal.
Koperasi hanya akan berhasil jika manajemennya bersifatterbuka/transparan dan
benar-benar partisipatif.Keprihatinan kita atas terjadinya kesenjangan sosial,
dan ketidakadilan dalam segala bidangkehidupan bangsa, seharusnya merangsang
para ilmuwan sosial lebih-lebih ekonom untukmengadakan kajian mendalam
menemukenali akar-akar penyebabnya.
Khusus bagi paraekonom tantangan yang dihadapi amat jelas karena
justru selama Orde Baru ekonomdianggap sudah sangat berhasil meningkatkan
pertumbuhan ekonomi secara meyakinkansehingga menaikkan status Indonesia dari
negara miskin menjadi negara berpendapatanmenengah. Krisis multidimensi yang
disulut krisis moneter dan krisis perbankan tahun 1997tidak urung kini hanya
disebut sebagai krisis ekonomi yang menandakan betapa bidang ekonomi dianggap
mencakupi segala bidang sosial dan non-ekonomi lainnya. Inilah alasan lain
mengapa ekonom Indonesia mempunyai tugas sangat berat sebagai penganalisismasalah-masalah
sosial-ekonomi besar yang sedang dihadapi bangsanya. Perbedaanpendapat di
antara ahli hukum atau ahli sosiologi dapat terjadi barangkali tanpa
implikasiserius, sedangkan jika perbedaan itu terjadi di antara pakar-pakar
ekonomi makaimplikasinya sungguh dapat sangat serius bagi banyak orang, bahkan
bagi perekonomiannasional.
a.
Kurangnya Partisipasi Anggota
Bagaimana mereka bisa berpartisipasi lebih kalau mengerti saja
tidak mengenai apa itu koperasi. Hasilnya anggota koperasi tidak menunjukkan
partisipasinya baik itu kontributif maupun insentif terhadap kegiatan koperasi
sendiri. Kurangnya pendidikan serta pelatihan yang diberikan oleh pengurus
kepada para anggota koperasi ditengarai menjadi faktor utamanya, karena para
pengurus beranggapan hal tersebut tidak akan menghasilkan manfaat bagi diri
mereka pribadi.
b.
Sosialisasi Koperasi
Tingkat partisipasi anggota koperasi masih rendah, ini disebabkan
sosialisasi yang belum optimal. Masyarakat yang menjadi anggota hanya sebatas
tahu koperasi itu hanya untuk melayani konsumen seperti biasa, baik untuk
barang konsumsi atau pinjaman. Artinya masyarakat belum tahu esensi dari
koperasi itu sendiri, baik dari sistem permodalan maupun sistem kepemilikanya.
c.
Manajemen
Manajemen koperasi harus diarahkan pada orientasi strategik dan
gerakan koperasi harus memiliki manusia-manusia yang mampu menghimpun dan
memobilisasikan berbagai sumber daya yang diperlukan untuk memanfaatkan peluang
usaha. Oleh karena itu koperasi harus teliti dalam memilih pengurus maupun pengelola
agar badan usaha yang didirikan akan berkembang dengan baik.
d.
Permodalan
Kurang berkembangnya koperasi juga berkaitan sekali dengan kondisi
modal keuangan badan usaha tersebut. Kendala modal itu bisa jadi karena kurang
adanya dukungan modal yang kuat dan dalam atau bahkan sebaliknya terlalu
tergantungnya modal dan sumber koperasi itu sendiri. Jadi untuk keluar dari
masalah tersebut harus dilakukan melalui terobosan structural, maksudnya
dilakukannya restrukturasi dalam penguasaan factor produksi, khususnya
permodalan.
e.
Sumber Daya Manusia
Banyak anggota, pengurus maupun pengelola koperasi kurang bisa
mendukung jalannya koperasi. Dengan kondisi seperti ini maka koperasi berjalan
dengan tidak profesional dalam artian tidak dijalankan sesuai dengan kaidah
sebagimana usaha lainnya. Dari sisi keanggotaan, sering kali pendirian koperasi
itu didasarkan pada dorongan yang dipaksakan oleh pemerintah. Akibatnya
pendirian koperasi didasarkan bukan dari bawah melainkan dari atas. Pengurus
yang dipilih dalam rapat anggota seringkali dipilih berdasarkan status sosial
dalam masyarakat itu sendiri. Dengan demikian pengelolaan koperasi dijalankan
dengan kurang adanya control yang ketat dari para anggotanya. Pengelola ynag
ditunjuk oleh pengurus seringkali diambil dari kalangan yang kurang
profesional. Sering kali pengelola yang diambil bukan dari yang berpengalaman
baik dari sisi akademis maupun penerapan dalam wirausaha.
2.2 Perkembangan Koperasi di Indonesia
Dalam sistem perekonomian Indonesia dikenal ada tiga pilar utama
yang menyangga perekonomian. Ketiga pilar itu adalah Badan Usaha Milik Negara
(BUMN), Badan Usaha Milik Swasta (BUMS), dan Koperasi. Ketiga pilar ekonomi
tersebut mempunyai peranan yang masing-masing sangat spesifik sesuai dengan
kapasitasnya. Sayangnya, seperti yang diungkapkan oleh Widiyanto (1998), dari
ketiga pilar itu, koperasi, walau sering disebut sebagai soko guru
perekonomian, secara umum merupakan pilar ekonomi yang "jalannya paling
terseok" dibandingkan dengan BUMN dan apalagi BUMS.
Padahal koperasi selama ini sudah didukung oleh pemerintah (bahkan
berlebihan) sesuai kedudukan istimewa dari koperasi di dalam sistem
perekonomian Indonesia. Sebagai soko guru perekonomian, ide dasar pembentukan
koperasi sering dikaitkan dengan pasal 33 UUD 1945, khususnya Ayat 1 yang
menyebutkan bahwa "Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar
atas asas kekeluargaan". Dalam Penjelasan UUD 1945 itu dikatakan bahwa
bangun usaha yang paling cocok dengan asas kekeluargaan itu adalah koperasi. Tafsiran
itu sering disebut sebagai perumus pasal tersebut.
Kata azas kekeluargaan ini, walau bisa diperdebatkan, sering
dikaitkan dengan koperasi sebab azas pelaksanaan usaha koperasi adalah juga
kekeluargaan. Untuk lebih menata organisasi koperasi, pada tahun 1967 pemerintah
Indonesia (Presiden dan DPR) mengeluarkan UU no. 12 dan pada tahun 1992 UU
tersebut direvisi menjadi UU no. 25. Di banding UU no.12, UU no 25 lebih
komprehensif tetapi juga lebih berorientasi ke pemahaman "kapitalis".
Ini disebabkan UU baru itu sesungguhnya memberi peluang koperasi untuk
bertindak sebagai sebuah perusahaan yang memaksimalisasikan keuntungan
(Widiyanto:1998).
Berdasarkan data resmi dari Departemen Koperasi dan UKM, sampai
dengan bulan November 2001, jumlah koperasi di seluruh Indonesia tercatat
sebanyak 103.000 unit lebih, dengan jumlah keanggotaan ada sebanyak 26.000.000
orang. Jumlah itu jika dibanding dengan jumlah koperasi per-Desember 1998
mengalami peningkatan sebanyak dua kali lipat. Jumlah koperasi aktif, juga
mengalami perkembangan yang cukup menggembirakan. Jumlah koperasi aktif
per-November 2001, sebanyak 96.180 unit (88,14 persen). Hingga tahun 2004
tercatat 130.730, tetapi yang aktif mencapai 71,50%, sedangkan yang menjalankan
rapat tahunan anggota (RAT) hanya 35,42% koperasi saja. Tahun 2006 tercatat ada
138.411 unit dengan anggota 27.042.342 orang akan tetapi yang aktif 94.708 unit
dan yang tidak aktif sebesar 43.703 unit. Untuk sejarah dan perkembangan
koperasi di Indonesia dibagi menjadi beberapa garis waktu (time line) yaitu,
A.
Awal Perkembangan Koperasi di Indonesia
Perkembangan koperasi di Indonesia dimulai sejak tahun 1896 (Ahmed
1964:57) yang selanjutnya berkembang dari waktu ke waktu sampai sekarang.
Perkembangan koperasi di Indonesia mengalami pasang naik dan turun dengan titik
berat lingkup kegiatan usaha secara menyeluruh yang berbeda-beda dari waktu ke
waktu sesuai dengan iklim lingkungannya. Jikalau pertumbuhan koperasi yang
pertama di Indonesia menekankan pada kegiatan simpan-pinjam (Soedjono 1983:7)
maka selanjutnya tumbuh pula koperasi yang menekankan pada kegiatan penyediaan
barang-barang konsumsi dan dan kemudian koperasi yang menekankan pada kegiatan
penyediaan barang-barang untuk keperluan produksi. Perkembangan koperasi dari
berbagai jenis kegiatan usaha tersebut selanjutnya ada kecenderungan menuju
kepada suatu bentuk koperasi yang memilikibeberapa jenis kegiatan usaha.
Koperasi serba usaha ini mengambil langkah-langkah kegiatan usaha
yang paling mudah mereka kerjakan terlebih dulu, seperti kegiatan penyediaan
barang-barang keperluan produksi bersama-sama dengan kegiatan simpan-pinjam
ataupun kegiatan penyediaan barang-barang keperluan konsumsi bersama-sama
dengan kegiatan simpan-pinjam dan sebagainya (Masngudi, 1989:1-2). Pertumbuhan
koperasi di Indonesia dipelopori oleh R. Aria Wiriatmadja patih di Purwokerto
(1896), mendirikan koperasi yang bergerak dibidang simpan-pinjam. Untuk
memodali koperasi simpan- pinjam tersebut di samping banyak menggunakan uangnya
sendiri, beliau juga menggunakan kas masjid yang dipegangnya
(Djojohadikoesoemo, 1940:9).
Setelah beliau mengetahui bahwa hal tersebut tidak boleh, maka uang
kas mesjid telah dikembalikan secara utuh pada posisi yang sebenarnya. Kegiatan
R Aria Wiriatmadja dikembangkan lebih lanjut oleh De Wolf Van Westerrode
asisten Residen Wilayah Purwokerto di Banyumas. Ketika ia cuti ke Eropa
dipelajarinya cara kerja wolksbank secara Raiffeise (koperasi simpan-pinjam
untuk kaum tani) dan Schulze-Delitzsch (koperasi simpan-pinjam untuk kaum buruh
di kota) di Jerman. Setelah ia kembali dari cuti mulailah ia mengembangkan
koperasi simpan-pinjam sebagaimana telah dirintis oleh R. Aria Wiriatmadja .
Dalam hubungan ini kegiatan simpan pinjam yang dapat berkembang ialah model
koperasi simpan-pinjam lumbung dan modal untuk itu diambil dari zakat.
Selanjutnya Boedi Oetomo yang didirikan pada tahun 1908
menganjurkan berdirinya koperasi untuk keperluan rumah tangga. Demikian pula
Sarikat Islam yang didirikan tahun 1911 juga mengembangkan koperasi yang
bergerak di bidang keperluan sehari-hari dengan cara membuka tokotoko koperasi.
Perkembangan yang pesat dibidang perkoperasian di Indonesia yang menyatu dengan
kekuatan social dan politik menimbulkan kecurigaan Pemerintah Hindia Belanda.
Oleh karenanya Pemerintah Hindia Belanda ingin mengaturnya tetapi dalam
kenyataan lebih cenderung menjadi suatu penghalang atau penghambat perkembangan
koperasi.
Dalam hubungan ini pada tahun 1915 diterbitkan Ketetapan Raja no.
431 yang berisi antara lain :
1.
Akte pendirian koperasi dibuat secara notariil;
2.
Akte pendirian harus dibuat dalam Bahasa
Belanda;
3.
Harus mendapat ijin dari Gubernur
Jenderal;
4.
dan di samping itu diperlukan biaya
meterai.
Pada akhir Rajab 1336H atau 1918 K.H. Hasyim Asy’ari Tebuireng
Jombang mendirikan koperasi yang dinamakan “Syirkatul Inan” atau disingkat
(SKN) yang beranggotakan 45 orang. Ketua dan sekaligus sebagai manager adalah
K.H. Hasyim Asy ‘ari. Sekretaris I dan II adalah K.H. Bishri dan Haj Manshur.
Sedangkan bendahara Syeikh Abdul WAhab Tambakberas di mana brannkas dilengkapi
dengan 5 macam kunci yang dipegang oleh 5 anggota. Mereka bertekad, dengan
kelahiran koperasi ini unntuk dijadikan periode “nahdlatuttijar” . Proses
permohonan badan hukum direncanakan akan diajukan setelah antara 2 sampai
dengan 3 tahun berdiri. Berbagai ketentuan dan persyaratan sebagaimana dalam
ketetapan Raja no 431/1915 tersebut dirasakan sangat memberatkan persyaratan
berdiriya koperasi.
Dengan demikian praktis peraturan tersebut dapat dipandang sebagai
suatu penghalang bagi pertumbuhan koperasi di Indonesia, yang mengundang
berbagai reaksi. Oleh karenanya maka pada tahun 1920 dibentuk suatu ‘Komisi
Koperasi’ yang dipimpin oleh DR. J.H. Boeke yang diberi tugas neneliti sampai
sejauh mana keperluan penduduk Bumi Putera untuk berkoperasi. Hasil dari
penelitian menyatakan tentang perlunya penduduk Bumi putera berkoperasi dan
untuk mendorong keperluan rakyat yang bersangkutan. Selanjutnya didirikanlah
Bank Rakyat ( Volkscredit Wezen ).
Berkaitan dengan masalah Peraturan Perkoperasian, maka pada tahun
1927 di Surabaya didirikan “Indonsische Studieclub” Oleh dokter Soetomo yang
juga pendiri Boedi Oetomo, dan melalui organisasi tersebut beliau menganjurkan
berdirinya koperasi. Kegiatan serupa juga dilakukan oleh Partai Nasional
Indonesia di bawah pimpimnan Ir. Soekarno, di mana pada tahun 1929
menyelenggarakan kongres koperasi di Betawi. Keputusan kongres koperasi tersebt
menyatakan bahwa untuk meningkatkan kemakmuran penduduk Bumi Putera harus
didirikan berbagai macam koperasi di seluruh Pulau Jawa khususnya dan di
Indonesia pada umumnya. Untuk menggiatkan pertumbuhan koperasi,
Pada
akhir tahun 1930 didirikan Jawatan Koperasi dengan tugas:
1.
memberikan penerangan kepada
pengusaha-pengusaha Indonesia mengenai seluk beluk perdagangan;
2.
dalam rangka peraturan koerasi No 91,
melakukan pengawasan dan pemeriksaan terhadap koperasi-koperasi, serta
memberikan penerangannya;
3.
memberikan keterangan-keterangan tentang
perdagangan pengangkutan, cara-cara perkreditan dan hal ihwal lainnya yang
menyangkut perusahaan-perusahaan;
4.
penerangan tentang organisasi perusahaan;
5.
menyiapkan tindakan-tindakan hukum bagi
pengusaha Indonesia (Raka,1981:42).
DR. J.H. Boeke yang dulunya memimpin “Komisi Koperasi” 1920
ditunjuk sebagai Kepala Jawatan Koperasi yang pertama. Selanjutnya pada tahun
1933 diterbitkan Peraturan Perkoperasian dalam berntuk Gouvernmentsbesluit
no.21 yang termuat di dalam Staatsblad no. 108/1933 yang menggantikan
Koninklijke Besluit no. 431 tahun 1915. Peraturan Perkoperasian 1933 ini
diperuntukkan bagi orang-orang Eropa dan golongan Timur Asing. Dengan demikian
di Indonesia pada waktu itu berlaku 2 Peraturan Perkopersian, yakni Peraturan
Perkoperasian tahun 1927 yang diperuntukan bagi golongan Bumi Putera dan
Peraturan Perkoperasian tahun 1933 yang berlaku bagi golongan Eropa dan Timur
Asing.
Kongres Muhamadiyah pada tahun 1935 dan 1938 memutuskan tekadnya
untuk mengembangkan koperasi di seluruh wilayah Indonesia, terutama di
lingkungan warganya. Diharapkan para warga Muhammadiyah dapat memelopori dan
bersama-sama anggota masyarakat yang lain untuk mendirikan dan mengembangkan
koperasi. Berbagai koperasi dibidang produksi mulai tumbuh dan berkembang
antara lain koperasi batik yang diperlopori oleh H. Zarkasi, H. Samanhudi dan
K.H. Idris. Perkembangan koperasi semenjak berdirinya Jawatan Koperasi tahun
1930 menunjukkan suatu tingkat perkembangan yang terus meningkat. Jikalau pada
tahun 1930 jumlah koperasi 39 buah, maka pada tahun 1939 jumlahnya menjadi 574
buah dengan jumlah anggota pada tahun 1930 sebanyak 7.848 orang kemudian
berkembang menjadi 52.555 orang. Sedang kegiatannya dari 574 koperasi tersebut
diantaranya 423 kopersi (77%) adalah koperasi yang bergerak dibidang
simpan-pinjam (Djojohadikoesoemo,1940:82) sedangkan selebihnya adalah kopersi
jenis konsumsi ataupun produksi. Dari 423 koperasi simpan-pinjam tersebut
diantaranya 19 buah adalah koperasi lumbung.
Pada masa Pendudukan bala tentara Jepang istilah koperasi lebih
dikenal menjadi istilah “Kumiai”. Pemerintahan bala tentara Jepang di Indonesia
menetapkan bahwa semua Badan-badan Pemerintahan dan kekuasaan hukum serta
Undang-undang dari Pemerintah yang terdahulu tetap diakui sementara waktu, asal
saja tidak bertentangandengan Peraturan Pemerintah Militer. Berdasarkan atas
ketentuan tersebut, maka Peraturan Perkoperasian tahun 1927 masih tetap
berlaku. Akan tetapi berdasarkan Undang-undang No. 23 dari Pemerintahan bala
tentara Jepang di Indonesia mengatur tentang pendirian perkumpulan dan
penmyelenggaraan persidangan.
Sebagai akibat daripada peraturan tersebut , maka jikalau masyarat
ingin mendirikan suatu perkumpulan koperasi harus mendapat izin Residen
(Shuchokan) dengan menjelaskan syarat-syarat sebagai berikut :
1.
Maksud perkumpulan atau persidangan, baik
sifat maupun aturan - aturannya;
2.
Tempat dan tanggal perkumpulan didirikan
atau persidangan diadakan;
3.
Nama orang yang bertangguing jawab,
kepengurusan dan anggotaanggotanya ;
4.
Sumpah bahwa perkumpulan atau persidangan
yang bersangkutan itu sekali-kali bukan pergerakan politik.
Dengan berlakunya Undang-undang ini, maka di beberapa daerah banyak
koperasi lama yang harus menghentikan usahanya dan tidak boleh bekerja lagi
sebelum mendapat izin baru dari “Scuchokan”. Undang-undang ini pada hakekatnya
bermaksud mengawasi perkumpulan-perkumpulan dari segi kepolisian. Perkembangan
Pemerintahan pendudukan bala tentara Jepang dikarenakan masalah ekonomi yang
semakin sulit memerlukan peran “Kumiai” (koperasi). Pemerintah pada waktu itu
melalui kebijaksanaan dari atas menganjurkan berdirinya “Kumiai” di desa-desa
yang tujuannya untuk melakukan kegiatan distribusi barang yang jumlahnya
semakin hari semakin kurang karena situasi perang dan tekanan ekonomi
Internasional (misalnya gula pasir, minyak tanah, beras, rokok dan sebagainya).
Di lain pihak Pemerintah pendudukan bala tentara Jepang memerlukan
barang-barang yang dinilai penting untuk dikirim ke Jepang (misalnya biji
jarak, hasil-hasil bumi yang lain, besi tua dan sebagainya) yang untuk itu
masyarakat agar menyetorkannya melalui “Kumiai”. Kumiai (koperasi) dijadikan
alat kebijaksanaan dari Pemerintah bala tentara Jepang sejalan dengan
kepentingannya. Peranan koperasi sebagaimana dilaksanakan pada zaman
Pemerintahan pendudukan bala tentara Jepang tersebut sangat merugikan bagi para
anggota dan masyarakat pada umumnya.
B.
Perkembangan Koperasi Setelah Masa
Kemerdekaan
Gerakan koperasi di Indonesia yang lahir pada akhir abad 19 dalam
suasana sebagai Negara jajahan tidak memiliki suatu iklim yang menguntungkan
bagi pertumbuhannya. Baru kemudian setelah Indonesia memproklamasikan
kemerdekaannya, dengan tegas perkoperasian ditulis di dalam UUD 1945. DR. H.
Moh Hatta sebagai salah seorang “Founding Father” Republik Indonesia, berusaha
memasukkan rumusan perkoperasian di dalam “konstitusi”. Sejak kemerdekaan itu
pula koperasi di Indonesia mengalami suatu perkembangan yang lebih baik. Pasal
33 UUD 1945 ayat 1 beserta penjelasannya menyatakan bahwa perekonomian disusun
sebagai usaha bersama berdasarkan azas kekeluargaan.
Dalam penjelasannya disebutkan bahwa bangun perekonomian yang
sesuai dengan azas kekeluargaan tersebut adalah koperasi. Di dalam pasal 33 UUD
1945 tersebut diatur pula di samping koperasi, juga peranan daripada Badan
Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Swasta. Pada akhir 1946, Jawatan
Koperasi mengadakan pendaftaran koperasi dan tercatat sebanyak 2500 buah
koperasi di seluruh Indonesia. Pemerintah Republik Indonesia bertindak aktif
dalam pengembangan perkoperasian. Disamping menganjurkan berdirinya berbagai
jenis koperasi Pemerintah RI berusaha memperluas dan menyebarkan pengetahuan
tentang koperasi dengan jalan mengadakan kursus-kursus koperasi di berbagai
tempat.
Pada tanggal 12 Juli 1947 diselenggarakan kongres koperasi se Jawa
yang pertama di Tasikmalaya. Dalam kongres tersebut diputuskan antara lain
terbentuknya Sentral Organisasi Koperasi Rakyat Indonesia yang disingkat SOKRI;
menjadikan tanggal 12 Juli sebagai Hari Koperasi serta menganjurkan
diselenggarakan pendidikan koperasi di kalangan pengurus, pegawai dan
masyarakat. Selanjutnya, koperasi pertumbuhannya semakin pesat. Tetapi dengan terjadinya
agresi I dan agresi II dari pihak Belanda terhadap Republik Indonesia serta
pemberontakan PKI di Madiunpada tahun 1948 banyak merugikan terhadap gerakan
koperasi. Pada tahun 1949 diterbitkan Peraturan Perkoperasian yang dimuat di
dalam Staatsblad No. 179. Peraturan ini dikeluarkan pada waktu Pemerintah
Federal Belanda menguasai sebagian wilayah Indonesia yang isinya hamper sama
dengan Peraturan Koperasi yang dimuat di dalam Staatsblad No. 91 tahun 1927,
dimana ketentuan-ketentuannya sudah kurang sesuai dengan keadaan Inidonesia
sehingga tidak memberikan dampak yang berarti bagi perkembangan koperasi.
Setelah terbentuknya Negara Kesatuan
Republik Indonesia tahun 1950 program Pemerintah semakin nyata keinginannya
untuk mengembangkan perkoperasian.Kabinet Mohammad Natsir menjelaskan di muka
Dewan Perwakilan Rakyat yang berkaitan dengan program perekonomian antara lain
sebagai berikut :
“Menggiatkan pembangunan
organisasi-organisasi rakyat , istimewa koperasi dengan cara pendidikan, penerangan,
pemberian kredit yang lebih banyak dan lebih mudah, satu dan lain seimbang
dengan kemampuan keuangan Negara”.
Untuk memperbaiki perekonomian-perekonomian rakyat Kabinet Wilopo
antara lain mengajukan suatu “program koperasi” yang terdiri dari tiga bagian,
yaitu :
1.
Usaha untuk menciptakan suasana dan
keadaan sebaik-baiknya bagi perkembangan gerakan koperasi;
2.
Usaha lanjutan dari perkembangan gerakan
koperasi;
3.
Usaha yang mengurus perusahaan rakyat
yang dapat diselenggarakan atas dasar koperasi.
Selanjutnya Kabinet Ali Sastroamidjodjo menjelaskan program Pemerintahannya sebagai berikut :
“Untuk kepentingan pembangunan dalam
lapangan perekonomian rakyat perlu pula diperluas dan dipergiat gerakan
koperasi yang harus disesuaikan dengan semangat gotong royong yang pesifik di
Indonesia dan besar artinya dalam usaha menggerakkan rasa percaya pada diri
sendiri di kalangan rakyat. Di samping itu Pemerintah hendak menyokong usaha
itu dengan memperbaiki dan memperlluas perkreditan, yang terpenting antara lain
dengan pemberian modal kepada badan-badan perkreditan desa seperti Lumbung dan
Bank Desa, yang sedapat-dapatnya disusun dalam bentuk koperasi” (Sumodiwirjo
1954: 4546).
Pada tahun 1956 tanggal 1 sampai 5 September diselenggarakan
Kongres Koperasi yang ke III di Jakarta. Keputusan Kongres di samping hal-hal
yang berkaitan dengan kehidupan perkoperasian di Indonesia, juga mengenai
hubungan Dewan Koperasi Indonesia dengan International Cooperative Alliance
(ICA). Pada tahun 1958 diterbitkan Undang-Undang tentang Perkumpulan Koperasi
No. 79 Tahun 1958 yang dimuat di dalam Tambahan Lembar Negara RI No. 1669.
Undang-Undang ini disusun dalam suasana UndangUndang Dasar Sementara 1950 dan
mulai berlaku pada tanggal 27 Oktober 1958. Isinya lebih biak dan lebih lengkap
jika dibandingkan dengan peraturan-peraturan koperasi sebelumnya dan merupakan
Undang-Undang yang pertama tentang perkoperasian yang disusun oleh Bangsa
Indonesiasendiri dalam suasana kemerdekaan.
Perlu dipahami bersama perbedaan sikap Pemerintah terhadap pengembangan
perkoperasian atas dasar perkembangan sejarah pertumbuhannya di Indonesia dapat
diklasifikasikan sebagai berikut :
1.
Pemerintahan Kolonial Belanda bersikap
pasif;
2.
Pemerintahan Pendudukan Balatentara
Jepang bersikap aktif negatif, karena akibat kebijaksanaannya nama koperasi
menjadi hancur (jelek);
3.
Bersikap aktif positif di mana Pemerintah
Republik Indonesia memberikan dorongan kesempatan dan kemudahan bagi koperasi.
C.
Perkembangan Koperasi dalam Sistem
Ekonomi Terpimpin
Dalam tahun 1959 terjadi suatu peristiwa yang sangat penting dalam
sejarah bangsa Indonesia. Setelah Konstituante tidak dapat menyelesaikan tugas
menyusun Undang-Undang Dasar Baru pada waktunya, maka pada tanggal 15 Juli 1959
Presiden Soekarno yang juga selaku Panglima Tertinggi Angkatan Perang
mengucapkan Dekrit Presiden yang memuat keputusan dan salahsatu daripadanya
ialah menetapkan Undang-Undang Dasar 1945 berlaku bagi segenap bangsa Indonesia
dan seluruh Tanah Tumpah Darah Indonesia, terhitung mulai dari tanggal
penetapan dekrit dan tidak berlakunya lagi Undang-Undang Dasar Sementara.
Pada tanggal 17 Agustus 1959 Presiden Soekarno mengucapkan pidato
kenegaraan yang berjudul “Penemuan Kembali Revolusi Kita”, atau lebih dikenal
dengan Manifesto politik (Manipol). Dalam pidato itu diuraikan berbagai
persoalan pokok dan program umum Revolusi Indonesia yang bersifat menyeluruh.
Berdasarkan Ketetapan MPRS No. 1/MPRS/1960 pidato itu ditetapkan sebagai
Garis-garis Besar Haluan Negara RI dan pedoman resmi dalam perjuangan
menyelesaikan revolusi. Dampak Dekrit Presiden dan Manipol terhadap
Undang-Undang No. 79 Tahun 1958 tentang Perkumpulan Koperasi adalah
undang-undang yang belum berumur panjang itu telah kehilangan dasar dan tidak
sesuai lagi dengan jiwa dan semangat UUD 1945 dan Manipol.
Karenanya untuk mengatasi keadaan itu maka di samping Undang-Undang
No. 79 Tahun 1958 tentang Perkumpulan Koperasi dikeluarkan pula Peraturan
Pemerintah No. 60 Tahun 1959 tentang Perkembangan Gerakan Koperasi (dimuat
dalam Tambahan aLembaran Negara No. 1907). Peratuarn ini dibuat sebagai
peraturan pelaksanaan dari UndangUndang No. 79 Tahun 1958 tentang Perkumpulan
Koperasi dan merupakan penyempurnaan dari hal-hal yang belum diatur dalam
Undang-Undang tersebut. Peraturan itu membawa konsep pengembangan koperasi
secara missal dan seragam dan dikeluarkan berdasarkan pertimbanganpertimbangan
sebagai berikut :
1.
Menyesuaikan fungsi koperasi dengan jiwa
dan semangat UUD 1945 dan Manipol RI tanggal 17 Agustus 1959, dimana koperasi
diberi peranan sedemikian rupa sehingga kegiatan dan penyelenggaraannya
benar-benar dapat merupakan alat untuk melaksanakan ekonomi terpimpin berdasarkan
sosialisme ala Indonesia.
2.
Bahwa pemerintah wajib mengambil sikap
yang aktif dalam membina Gerakan Koperasi berdasarkan azas-azas demokrasi terpimpin,
yaitu menumbuhkan, mendorong, membimbing, melindungi dan mengawasi perkembangan
Gerakan Koperasi, dan;
3.
Bahwa dengan menyerahkan penyelenggaraan
koperasi kepada inisiatif Gerakan Koperasi sendiri dalam taraf sekarang bukan
saja tidak mencapai tujuan untuk membendung arus kapitalisme dan liberalism,
tetapi juga tidak menjamin bentuk organisasi dan cara bekerja yang sehat sesuai
dengan azas-azas koperasi yang sebenarnya (Sularso 1988: VI-VII).
Sebagai puncak pengukuhan hokum dari uapaya mempolitikkan
(verpolitisering) koperasi dalam suasana demokrasi terpimpin yakni di
terbitkannya UU No.14 tahun 1965 tentang perkoperasian yang dimuat didalam
Lembaran Negara No. 75 tahun 1960. Salah satu pasal yang terpenting adalah
pasal 5 yang berbunyi : “Koperasi, struktur, aktivitas dan alat pembinaan serta
alat perlengkapan organisasi koperasi, mencerminkan kegotong-royongan progresif
revolusioner berporoskan Nasakom (Nasional, Agama, Komunis)”. Dalam memori
penjelasannya dinyatakan sebagai berikut : “Sesuai dengan penjelasan umum
perkoperasian (pola koperasi) tidak dapat dipisahkan dari masalah Revolusi pada
umumnya (doktrin Revolusi), sehingga tantangan-tantangan dari gerakan koperasi
hakekatnya merupakan tantangan daripada Revolusi itu sendiri”
Pengalaman-pengalaman perjuangan kita dalam menghadapi
tantangan-tantangan tersebut, menunjukkan keharusan obyektif adanya persatuan
dan kesatuan segenap potensi dan kekuatan rakyat yang progresif Revolusioner
berporos Nasakom, yang pelaksanaannya diatur dengan kegotong-royongan antara
Pemerintah dengan kekuatan-kekuatan Nasakom. Selanjutnya peranan gerakan
koperasi dalam demokrasi terpimpin dan ekonomi terpimpin diatur didalam pasal 6
dan pasal 7. Pasal 6 berbunyi sebagai berikut : “ Gerakan Koperasi mempunyai
peranan:
1.
Dalam tahap nasional demokrasis :
1)
Mempersatukan dan memobilisir seluruh
rakyat pekerja dan produsen kecil yang merupakan tenaga-tenaga produktif untuk
meningkatkan produksi, mengadilkan dan meratakan distribusi;
2)
Ikut serta menghapus sisa-sisa imperalisme,
kolonialisme dan feodalisme;
3)
Membantu memperkuat sector ekonomi Negara
yang memegang posisi memimpin;
4)
Menciptakan syarat-syarat bagi
pembangunan masyarakat sosialis Indonesia.
2.
Dalam Tahap sosialisme Indonesia :
1)
Menyelenggarakan tata ekonomi tanpa
adanya penghisapan oleh manusia atas manusia;
2)
Meningkatkan tingkat hidup rakyat
jasmaniah dan rokhaniah;
3)
Membina dan mengembangkan swadaya dan
daya kreatif rakyat sebagai perwujudan masyarakat gotong-royong. “Pasal 7
menyatakan sebagai berikut :
Pemerintah menetapkan kebijaksanaan pokok perkoperasian. Dengan
Peraturan Pemerintah diatur hubungan antara gerakan koperasi dengan Pemerintah,
Perusahaan Negara/Perusahaan Daerah dan swasta bukan koperasi”. Memori
penjelasannya menyatakan : “Untuk menjamin azas Demokrasi Terpimpin dan Ekonomi
Terpimpin kebijaksanaan perkoperasian ditetapkan oleh Pemerintah”.
Bersamaan dengan disyahkannya UU No. 14 tahun 1965 dilangsungkan
Musyawarah Nasional Koperasi (Munaskop) II di Jakarta yang pada dasarnya
merupakan ajang legitiminasi terhadap masuknya kekuatan-kekuatan politik di
dalam koperasi sebagaimana diatur oleh UU Perkoperasian tersebut. Dalam
kesempatan tersebut, juga diputuskan bahwa KOKSI (Kesatuan Organisasi Koperasi
Seluruh Indonesia) Menyatakan keluar dari keanggotaan ICA. Tindakan berselang
lama yakni dalam bulan September 1965 terjadi pemberontakan Gerakan 30
September yang didalangi oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) yang terpengaruh
besar terhadap pengembangan koperasi.
Mengingat dalam UU no. 14 tahun 1965 secara tegas memasukan warna
politik di dalam kehidupan perkoperasian, maka akibat pemberontakan G30S/PKI
pelaksanaanya perlu di pertimbangkan kembali. Bahkan segera disusul
langkah-langkah memurnikan kembali kekoprasi kepada azas-azas yang murni dengan
cara “ deverpolitisering “. Koperasi-koperasi menyelenggarakan rapat anggota
untuk memperbaharui kepengurusan dan Badan Pemeriksaannya. Reorganisasi
dilaksanakan secara menyeluruh untuk memurnikan koperasi di atas azas-azas
koperasi yang sebenarnya (murni).
D.
Perkembangan Koperasi Pada Masa Orde Baru
Pemberontakan G30S/PKI merupakan malapetaka besar bagi rakyat dan
bangsa Indonesia. Demikian pula hal tersebut didalami oleh gerakan koperasi di
Indonesia. Oleh karena itu dengan kebulatan tekad rakyat dan bangsa Indonesia
untuk kembali dan melaksanakan UUD-1945 dan Pancasila secara murni dan
konsekwen, maka gerakan koperasi di Indonesia tidak terkecuali untuk
melaksanakannya. Semangat Orde Baru yang dimulai titik awalnya 11 Maret 1996
segera setelah itu pada tanggal 18 Desember 1967 telah dilahirkan Undang-Undang
Koperasi yang baru yakni dikenal dengan UU No. 12/1967 tentang Pokok-pokok
Perkopersian. Konsideran UU No. 12/1967 tersebut adalah bahwa Undang-Undang No.
14 Tahun 1965 tentang Perkoperasian Mengandung pikiran-pikiran yang nyata-nyata
hendak :
1.
Menempatkan fungsi dan peranan koperasi
sebagai abdi langsung daripada politik. Sehingga mengabaikan koperasi sebagai
wadah perjuangan ekonomi rakyat.
2.
Menyelewengkan landasan-landasan, azas-azas
dan sendi-sendi dasar koperasi dari kemurniannya. Bahwa berhubung dengan itu
perlu dibentuk Undang-Undang baru yang,
3.
Sesuai dengan semangat dan jiwa Orde Baru
sebagaimana dituangkan dalam Ketepatan-ketepatan MPRS Sidang ke IV dan Sidang
Istimewa untuk memungkinkan bagi koperasi mendapatkan kedudukan hokum dan
tempat yang semestinya sebagai wadah organisasi perjuangan ekonomi rakyat yang
berwatak sosial dan sebagai alat pendemokrasian ekonomi nasional.
4.
Bahwa koperasi bersama-sama dengan sector
ekonomi Negara dan swasta bergerak di segala sektor ekonomi Negara dan swasta
bergerak di segala kegiatan dan kehidupan ekonomi bangsa dalam rangka
memampukan dirinya bagi usaha-usaha untuk mewujudkan masyarakat Sosialisme
Indonesia berdasarkan Pancasila yang adil dan makmur di ridhoi Tuhan Yang Maha
Esa.
Bahwa berhubungan dengan itu, maka Undang-Undang No. 14 tahun 1965
perlu dicabut dan perlu mencerminkan jiwa, serta cita-cita yang terkandung
dalam jelas menyatakan, bahwa perekonomian Indonesia disusun sebagai usaha
bersama berdasarkan atas azas kekeluargaan dan koperasi adalah satu bangunan
usaha yang sesuai dengan susunan perekonomian yang dimaksud itu. Berdasarkan
pada ketentuan itu dan untuk mencapai cita-cita tersebut Pemerintah mempunyai
kewajiban membimbing dan membina perkoperasian Indonesia dengan sikap “ ing
ngarsa sung tulada, ing madya mbangun karsa, tut wuri handayani “.
Menurut pasal. 3 UU No. 12/1967, koperasi Indonesia adalah
organisasi ekonomi rakyat yang berwatak social, beranggotakan orang-orang atau
badan hukum koperasi yang merupakan tata azas kekeluargaan. Penjelasan pasal
tersebut menyatakan bahwa “ koperasi Indonesia adalah kumpulan orang-orang yang
sebagai manusia secara bersamaan, bekerja untuk memajukan
kepentingan-kepentingan ekonomi mereka dan kepentingan masyarakat. Dari
pengertian umum di atas, maka cirri-ciri seperti di bawah ini seharusnya selalu
nampak:
1.
Bahwa koperasi Indonesia adalah kumpulan
orang-orang dan bukan kumpulan modal. Pengaruh dan penggunaan modal dalam
koperasi Indonesia tidak boleh mengurangi makna dan tidak boleh mengaburkan
pengertian koperasi Indonesia berdasarkan perkumpulan orang-orang dan bukan
sebagai perkumpulan modal. Ini berarti bahwa koperasi Indonesia harus
benar-benar mengabdikan kepada perikemanusiaan dan bukan kepada kebendaan;
2.
bahwa koperasi Indonesia bekerjasama,
bergotong-royong berdasarkan persamaan derajat, hak dan kewajiban yang berarti
koperasi adalah dan seharusnya merupakan wadah demokrasi ekonomi dan social.
Karena dasar demokrasi ini, milik para anggota sendiri dan pada dasarnya harus
diatur serta diurus sesuai dengan keinginan para anggota yang berarti bahwa hak
tertinggi dalam koperasi terletak pada Rapat Anggota.
3.
Bahwa segala kegiatan koperasi Indonesia
harus didasarkan atas kesadaran para anggota. Dalam koperasi tidak boleh
dilakukan paksaan, ancaman, intimidasi dan campur tangan dari pihak-pihak lain
yang tidak ada sangkut-pautnya dengan soal-soal intern koperasi;
4.
Bahwa tujuan koperasi Indonesia harus
benar-benar merupakan kepentingan bersama dari para anggotanya dan disumbangkan
para anggota masing-masing. Ikut sertanya anggota sesuai dengan kecilnya karya
dan jasanya harus dicerminkan pula dalam hal pembagian pendapatan dalam
koperasi”.
E.
Perkembangan Koperasi Pasca Reformasi
Setelah pemerintahan Orde Baru tumbang dan digantikan oleh
reformasi, perkembangan koperasi mengalami peningkatan. Dalam era reformasi
pemberdayaan ekonomi rakyat kembali diupayakan melalui pemberian kesempatan
yang lebih besar bagi usaha kecil dan koperasi. Untuk tujuan tersebut seperti sudah
ditetapkan melalui GBHN Tahun 1999. Pesan yang tersirat di dalam GBHN Tahun
1999 tersebut bahwa tugas dan misi koperasi dalam era reformasi sekarang ini,
yakni koperasi harus mampu berfungsi sebagai sarana pendukung pengembangan
usaha kecil, sarana pengembangan partisipasi masyarakat dalam pembangunan,
serta sebagai sarana untuk pemecahan ketidakselarasan di dalam masyarakat
sebagai akibat dari ketidakmerataannyapembagian pendapatan yang mungkin
terjadi.
Untuk mengetahui peran yang dapat diharapkan dari koperasi dalam
rangka penyembuhan perekonomian nasional kiranya perlu diperhatikan bahwa
disatu sisi koperasi telah diakui sebagai lembaga solusi dalam rangka menangkal
kesenjangan serta mewujudkan pemerataan, tetapi di sisi lain kebijaksanaan
makro ekonomi belum sepenuhnya disesuaikan dengan perubahan-perubahan
perekonomian dunia yang mengarah pada pasar bebas. Selama periode 2000 – 2003,
secara umum koperasi mengalami perkembangan usaha dan kelembagaan yang
mengairahkan. Namun demikian, koperasi masih memiliki berbagai kendala untuk
pengembangannya sebagai badan usaha, yaitu:
1.
Rendahnya partisipasi anggota yang
ditunjukkan dengan rendahnya nilai perputaran koperasi per anggota yang kurang
dari Rp.100.000,00 per bulan dan rendahnya simpanan anggota yang kurang dari
Rp.345.225,00,
2.
Efisiensi usaha yang relatif rendah yang
ditunjukkan dengan tingkat perputaran aktiva yang kurang dari 1,3 kali per
tahun
3.
Rendahnya tingkat profitabilitas koperasi
4.
Citra masyarakat terhadap koperasi yang
menganggap sebagai badan usaha kecil dan terbatas, serta bergantung pada
program pemerintah.
5.
Kompetensi SDM koperasi yang relatif
rendah.
6.
Kurang optimalnya koperasi mewujudkan
skala usaha yang ekonomis akibat belum optimalnya kerjasama antar koperasi dan
kerjasama koperasi dengan badan usaha lainnya.
7.
Pemerintah di negara-negara sedang
berkembang pada umumnya turut secara aktif dalam upaya membangun koperasi.
Keikutsertaan pemerintah negara-negara sedang berkembang ini, selain didorong
oleh adanya kesadaran untuk turut serta dalam membangunkan koperasi, juga
merupakan hal yang sangat diharapkan oleh gerakan koperasi. Hal ini antara lain
didorong oleh terbatasnya kemampuan koperasi di negara sedang berkembang, untuk
membangun dirinya atas kekuatan sendiri (Baswir,2000)
2.3 Tantangan Yang Dihadapi Perkoperasian
di Indonesia
Dengan semakin berkembanganya perekonomian menuju kearah
globalisasi ekonomi seperti dengan adanya MEA, maka tantangan yang dihadapi
antara lain:
1.
Hilangnya pasar produk ekspor kita karena
kalah bersaing karena harga dan kualitas produk kita kalah dibanding Negara
lain di Asean
2.
Semakin banyaknya produk impor di pasaran
dalam negeri yang akan mematikan usaha di Negara kita, contohnya saja Koperasi
yang semakin harus dapat bersaing
3.
Masuknya SDM dari Negara lain yang mungkin
lebih berkualitas, yang akan menggusur tenaga keja dalam negeri
Dengan semakin tingginya peluang Koperasi yang semakin banyak dan
berjalan dengan baik di Indonesia. Banyak pula masalah/tantangan yang dihadapi
oleh Koperasi di Indonesia memang masih belum terselesaikan, apalagi dengan
munculnya MEA. Seperti diantaranya :
1.
Lemahnya kelembagaan koperasi
2.
Lemahnya modal internal koperasi
3.
Kurangnya inovasi dalam bisnis koperasi
dan lambannya pemanfaatan IT
4.
Lemahnya kualitas SDM dan kurangnya
profesionalisme di Koperasi
Setelah dilihat diatas, dengan semakin banyaknya masalah yang
dihadapi oleh koperasi, maka koperasi harus melakukan peningkatan daya saing
untukn menghadapi MEA, yaitu dari segi organisasi koperasi itu sendiri, bisnis
koperasinya, dan juga Sumber Daya Manusianya. Jika dilihat dari Organisasi
Koperasi itu bisa dilakukan diantaranya :
1.
Memperkuat idiologisasi koperasi pada
anggota
2.
Penguatan kelembagaan koperasi sebagai
entitas bisnis modern
3.
Membangun kultur kreatif, inovatif dan
nilai tambah damlam kerangka meningkatkan daya saing koperasi
4.
Memperkuat jaringan kemitraan koperasi
dengan stake holder
Peran pemerintah dalam melakukan pembinaan pada koperasi juga
berperan penting agar menciptakan koperasi yang bisa semakin berkembang dalam
MEA. Pemerintah merupakan aktor utama bagi perkembangan koperasi, karena
kebijakan-kebijakan yang dilakukan harus pro rakyat dan demi kesejahteraan
rakyat Indonesia semata jangan menguntungkan bagi bangsa lain. Disamping itu
pemerintah juga harus membantu dana dalam mengembangkan koperasi, tetapi tidak
hanya memberikan dana saja, pemerintah harus mengontrol pengguanaan dana
tersebut. Selain cara-cara diatasakan menjadi lebih baik dan efektif lagi bila
diadakan program penelitian dan pengembangan koperasi.
1.
Peningkatan kegiatan penelitian dan
pengembangan, yang meliputi seluruh aspek pengembangan perkoperasian melalui
pendekatan interdisipliner dan lintas sektoral yang terkoordinasi dan
terintegrasi.
2.
Pengkajian dan perumusan pengetahuan
perkoperasian dalam rangka penyusunan keilmuan koperasi, sebagai bahan
pengajaran ilmu koperasi dalam pendidikan formal.
3.
Meningkatkan kegiatan penelitian dan
pengembangan perkoperasian untuk memberikan masukan yang diperlukan bagi
penyusunan pola pengembangan koperasi serta persiapan langkah-langkah bagi
usaha membangun koperasi.
4.
Mengembangkan berbagai pola dan perangkat
pembangunan koperasi baik perangkat lunak maupun perangkat keras, yang meliputi
aspek-aspek manajemen personil, permodalan dan perkreditan, produksi serta
pemasaran.
5.
Mengkaji proyek rintisan/percontohan
dalam rangka memperoleh sistem dan peralatan teknis yang belum dijadikan pola
atau sistem operasional.
6.
Mengembangkan pusat dokumentasi ilmiah
dan informasi perkoperasian yang didukung oleh sistem dan jaringan informasi yang
menyeluruh dan terpadu, guna memonitor dan mengevaluasi berbagai perkembangan
pembangunan koperasi serta dampak sosial ekonomi yang ditimbulkannya.
7.
Meningkatkan kerjasama koperasi dengan
lembaga-lembaga pendidikan, penelitian, pengembangan dan pengkajian baik di
lingkungan pemerintah maupun swasta.
2.4 Kebijakan – Kebijakan Yang Dibuat
Untuk Koperasi di Indonesia
Implementasi kebijakan Otonomi Daerah berdasarkan UU 22/1999
tentang Pemerintahan Daerah telah membawa paradigma baru dalam penyelenggaraan pemerintahan
di daerah serta dalam hubungan antara Pusat dengan Daerah.Kebijakan Otonomi
Daerah memberikan kewenangan yang luas kepada Daerah untuk mengurus dan
mengatur kepentingan masyarakatnya atas prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi
masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undang yang berlaku.
Dalam rangka implementasi kebijakan Otonomi Daerah, pembinaan
terhadap kelompok usaha kecil, menengah dan koperasi perlu menjadi perhatian.
Pembinaan terhadap kelompok usaha kecil, menengah dan koperasi bukan hanya
menjadi tanggung jawab Pusat tetapi juga menjadi kewajiban dan tanggung jawab
Daerah untuk mengembangkan koperasi menjadi makin maju, makin mandiri, dan
makin berakar dalam masyarakat, serta menjadi badan usaha yang sehat dan mampu
berperan di semua bidang usaha, terutama dalam kehidupan ekonomi rakyat, dalam
upaya mewujudkan demokrasi ekonomi berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Untuk
itu, maka pembangunan koperasi diselenggarakan melalui peningkatan kemampuan
organisasi, manajemen, kewiraswastaan, dan permodalan dengan di dukung oleh
peningkatan jiwa dan semangat berkoperasi menuju pemantapan perannya sebagai
sokoguru perekonomian nasional.
Dengan UU 22/1999 pemberian otonomi kepada Daerah Kabupaten dan
Daerah Kota didasarkan kepada azas desentralisasi saja dalam wujud otonomi yang
luas, nyata dan bertanggung jawab.Daerah memiliki kewenangan yang mencakup
kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang
politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, dan
agama.Dengan demikian daerah mempunyai kewenangan untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakatnya menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi
masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Jadi UU Nomor 22 Tahun 1999 memberikan hak kepada daerah berupa
kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya.Pengaturan dan
pengurusan kepentingan masyarakat tersebut merupakan prakarsa daerah sendiri
berdasarkan aspirasi masyarakat dan bukan lagi merupakaninstruksi dari pusat.Sehingga
daerah dituntut untuk responsif dan akomodatif terhadap tuntutan dan aspirasi
masyarakatnya.
Sedangkan selain kewenangan tersebut di atas menjadi kewenangan
Daerah, termasuk di dalamnya untuk pembinaan terhadap pengusaha kecil, menengah
dan koperasi.Sesuai dengan kewenangan Daerah untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat termasuk di dalamnya kepentingan dari pengusaha kecil,
menengah dan koperasi.
Implementasi undang-undang otonomi daerah, akan memberikan dampak
positif bagi koperasi dalam hal alokasi sumber daya alam dan pelayanan
pembinaan lainnya. Namun koperasi akan semakin menghadapi masalah yang lebih
intensif dengan pemerintah daerah dalam bentuk penempatan lokasi investasi dan
skala kegiatan koperasi . Karena azas efisiensi akan mendesak koperasi untuk
membangun jaringan yang luas dan mungkin melampaui batas daerah otonom. Peranan
advokasi oleh gerakan koperasi untuk memberikan orientasi kepada Pemerintah
didaerah semakin penting. Dengan demikian peranan pemerintah di tingkat Propinsi
yang diserahi tugas untuk pengembangan koperasi harus mampu menjalankan fungsi
intermediasi semacam ini. Mungkin juga dalam hal lain yang berkaitan dengan
pemanfaatan infrastruktur daerah yang semula menjadi kewenangan pusat.
Peranan pengembangan sistem lembaga keuangan koperasi di tingkat
Kabupaten/Kota sebagai Daerah Otonomi menjadi sangat penting. Lembaga keuangan
Koperasi yang kokoh di Daerah Otonom akan dapat menjangkau lapisan bawah dari
Ekonomi Rakyat. Disamping itu juga akan mampu berperan menahan arus keluar
Sumber Keuangan Daerah. Berbagai studi menunjukan bahwa lembaga keuangan yang
berbasis daerah akan lebih mampu menahan arus kapital keluar.
Dukungan yang diperlukan bagi koperasi untuk mengha¬dapi berbagai
rasionalisasi adalah keberadaan lembaga jaminan kre¬dit bagi koperasi dan usaha
kecil di daerah. Dengan demi¬kian kehadiran lembaga jaminan akan menjadi elemen
terpenting untuk percepatan perkembangan koperasi di dae¬rah. Lembaga jaminan
kredit yang dapat dikembangkan Pemerintah Daerah akan dapat mendesentralisasi
pengem¬bangan ekonomi rakyat dan dalam jangka panjang akan menum-buhkan
kemandirian daerah untuk mengarahkan aliran uang di masing-masing daerah. Dalam
jangka menengah kope¬rasi juga perlu memikirkan asuransi bagi para penabung.
Potensi koperasi pada saat ini sudah mampu untuk memulai gerakan
koperasi yang otonom, namun fokus bisnis koperasi harus diarahkan pada ciri
universalitas kebutuhan yang tinggi seperti jasa keuangan, pelayanan
infrastruktur serta pembelian bersama. Dengan otonomi selain peluang untuk
memanfaatkan potensi setempat juga terdapat potensi benturan yang harus
diselesaikan di tingkat daerah. Dalam hal ini konsolidasi potensi keuangan,
pengem¬bangan jaringan informasi serta pengembangan pusat inovasi dan teknologi
merupakan kebutuhan pendukung untuk kuat¬nya kehadiran koperasi. Pemerintah di
daerah dapat mendo¬rong pengem-bang¬an lembaga penjamin kredit di daerah.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Perkembangan koperasi di Indonesia terus berkembang. Perkembangan
tersebut ditandai dengan banyaknya pertumbuhan koperasi di Indonesia. Tetapi di
dalam perkembangan tersebut banyak terjadi hambatan-hambatan. Padahal Koperasi
merupakan lembaga ekonomi yang cocok diterapkan di Indonesia. Karena sifat
masyarakatnya yang kekeluargaan dan kegotongroyongan, sifat inilah yang sesuai
dengan azas koperasi saat ini. Bebarapa hambatan yang menghalangi perkemangan
koperasi di Indonesia disebabkan oleh beberapa factor diantaranaya adalah
kurangnya partisipasi anggota, Sosialisasi koperasi yang dinialai masih rendah.
Yang ketiga adalah terkait dengan manajemen. Faktor selanjutnya adalah dari
segi permodalan dan factor lainnya. Sedangkan terkait dengan perkembangan
koperasi di Indonesia secara umum dibagi menjadi lima garis waktu atau lima
periode yaitu periode perkembangan koperasi sebelum kemerdekaan, setelah
kemerdekaan, masa demokrasi terpimpin, masa orde baru dan terakhir era
perkembangan koperasi pada masa pasca reformasi. Dengan munculnya MEA dan era
pasar persaingan bebas, menimbulkan tantangan dalam koperasi seperti, koperasi
harus bisa mengatasi permasalah terkait dengan, lemahnya kelembagaan koperasi,
lemahnya modal internal koperasi, Kurangnya inovasi dalam bisnis koperasi dan
lambannya pemanfaatan IT serta lemahnya kualitas SDM dan kurangnya
profesionalisme di Koperasi.
3.2 Saran
Pemerintah sebagai pengambil dan pelaksana diharapkan ikut berperan
aktif dalam merumuskan kebijakan dan mengimplementasikan yang pro dan memberikan
dampak yang positif terhadap perkembangan koperasi di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmed, Riazuddin. 1964. Cooperative
Movement in South East Asia Obstacles to Development. Dalam Dr. Mauritz Bonow
(Ed). The Role of Cooperatives in Social and Economic Development.
International Cooperative Alliance: London.
Entangsastra A. 1984. Pembangunan
Koperasi (Teori dan Kenyataan). Alumni:Bandung.
Hendrojogi. 2002. Koperasi (Asas-asas,
Teori dan Praktek. PT Raja Grafindo Persada:
Jakarta.
Ismangil, Wagiono. 1989. Koperasi Menatap
Masa Depan, Beberapa Permasalahan Managerial. Pidato Ilmiah Disampaikan Pada
Lustrum ke VII Fakultas Ekonomi Universitas Sriwijaya, Palembang 8 Januari
1989.
Koermen. 2002. Manajemen Koperasi
Terapan, Prestasi Pustaka Publisher: Jakarta.
Masngudi. 1989. Peranan Koperasi Sebagai
Lembaga Pengantar Keuangan. Tidak diterbitkan. Disertasi Doktor pada
Universitas Gajah Mada Yogyakarta.
Raka, I.G.Gde. 1983. Pengantar
Pengetahuan Koperasi. Departemen Koperasi: Jakarta.
Sitio, Arifin, Halomoan Tamba. 2001.
Koperasi Teori dan Praktik. Erlangga: Jakarta
Sumarsono, Sonny. 2003. Manajemen
Koperasi. Teori dan Praktek. Jakarta: Graha Ilmu.
Undang-Undang No. 25 Tahun 1992. tentang
Perkoperasian Indonesia.
Post a Comment for "contoh makalah koperasi indonesia pada era otonomi daerah dan perdagangan bebas "